Selasa, 15 Januari 2013

Menggapai Ikhlas




Jika kita lihat, maka suatu agama jika sudah sampai kepada tingkat epistemologi Islam, epistemologi Kristian, epistemologi Gereja. Karena jika dikatakan metode Islam maka serasa kurang pantas atau kurang tepat. Mengerti ruang dan waktu dalam implementasinya banyak sekali. Orang yang tidak sopan kelak akan mendapat azab dan hukuman, baik di dalam hati, di dalam pikiran, di dalam jiwa, dan di dalam raganya. Sebagai contoh, Pandita Durna merupakan orang yang buruk rupa, cacat, cara bicaranya yang tidak jelas. Dahulunya, Pandita Durna merupakan seorang satria bagus, yang rupawan dan tampan. Namun karena pikiran Pandita Durna yang tidak sopan dan santun dan dihadapan Raja, Pandita Durna berbicara sembarangan, yang pada akhinya sang Mahapatih Gondomono marah besar, dihajarlah Pandita Durna hingga ia pincang. Sehingga menjadilah Pandita Durna yang buruk rupa. Itu merupakan buah bagi orang yang tidak tahu diri dan tidak sopan santun.
Cerita tentang Rasulullah SAW dan sahabatnya. Suatu ketika Rasulullah SAW di kerumuni oleh para sahabat karena ada suatu acara rutin. Ada salah satu sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, sebenar-benarnya aku ingin bertanya kepada Rasulullah, aku ingin tanya sebenar-benarnya wajah Rasulullah SAW itu seperti apa, aku ingin melihat”. Rasulullah SAW menjawab: “jikalau engkau ingin melihat wajahku, tengoklah lubang telinga anakku.” Maka para sahabat satu per satu melihat lubang telinga anak Rasulullah SAW. Para sahabat berkata bahwa lubang telinganya gelap dan tidak ada apa-apanya. Ada seorang yang tidak mau menengok lubang telinga anak Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar as Shidiq. Ditanya oleh Rasulullah, “wahai Abu Bakar as Shidiq, kenapa engkau tidak ikut dengan sahabat yang lain untuk menengok lubang telinga anak saya untuk bisa melihat wajah saya.” Abu Bakar as Shidiq mengatakan, “wahai Rasulullah, ampunilah aku karena aku ingin mengatakan yang sebenar-benarnya yang terjadi pada diriku. Perkenankanlah aku menyampaikan bahwa ketika aku tidur, ketika aku berjalan, ketika aku mandi, ketika aku bepergian jauh, ketika aku pidato, ketika aku makan, ketika aku sedang melakukan kegiatan apa saja, maka situasinya adalah bahwa saya sebenar-benarnya merasakan sedang memandang wajahmu ya Rasulullah.” Rasul menjawab: “inilah dia muridku yang paling cerdas. Wahai para sahabat, jika engkau ingin melihat wajahku, silahkan bergurulah pada Abu Bakar as Shidiq.” Itu sebagai perenungan dan pelajaran bagi kita bagaimana kita percaya Rasulullah SAW dan para Nabi sementara yang secara dhohir sudah meninggal dunia. Sekarang setelah kita melihat yang terjadi pada Abu Bakar as Shidiq bahwa Abu Bakar as Shidiq itu melihat wajah Rasulullah SAW sebagai sinar Nur Muhammad. Maka Abu Bakar as Shidiq nantinya akan mempunyai murid yang akan menjadi guru spiritual. Mereka tersembunyi, dan wajibnya kitalah yang mencari. Jika kita ingin meningkatkan kualitas diri kita kepada Tuhan, Allah SWT, maka carilah guru spiritual. Setelah membaca Nur Muhammad, bahwa berfikir itu dapat menunjang keimanan. Tetapi untuk dapat beriman tidak cukup dengan pikiran, karena domain beriman adalah hati. Ternyata Nur Muhammad merupakan awal mula penciptaan yang ada dan yang mungkin ada.
Berpikir itu merupakan cara berpikir manusia dan pengalaman. Cara berpikir manusia merupakan hukum analitik sedangkan pengalaman hukumnya sintetik. Cara berpikir manusia merupakan analitik. Analitik adalah subjek yang sama dengan predikat. Subjek yang sama dengan predikat di dunia ini tidak ada. Itu hanya ada di dalam pikiran atau Tuhan sendirilah yang mampu menjadi subjek sekaligus predikat. Maka manusia tidak akan pernah sama dengan namanya. Yang bisa sama dengan namanya hanyalah Tuhan saja. Maka matematika, subjek sama dengan predikat hanya dalam pengandaian. Jadi, dua sama dengan dua hanya ada di dalam pikiran. Di dunia ini tidak ada yang dua sama dengan dua. Karena di dunia ini terikat oleh ruang dan waktu. Maka sebenar-benarnya orang di dunia ini tidak ada yang bisa mengetahui dirinya sendiri, yang ada hanyalah menggapainya. Kebenaran tersebut bersifat koheren yaitu konsistensi. Hal tersebut dikatakan benar jika dia konsisten. Sedangkan yang ada di dunia ini bersifat kontradiksi. Sehingga, subjek tidak sama dengan predikatnya.
Hidup ini 80% - 90% terdiri dari intuisi. Sebagai proses intuisi adalah intuisi, namun intuisi sebagai produk dapat berupa mitos. Maka, anak kecil dapat hidup 80% dengan mitos. Mitos itu merupakan ia tidak mengerti tetapi melakukannya. Oleh karena itu, filsafat itu untuk orang dewasa. Artinya, sedapat-dapat kita mengerti ketika kita melakukannya. Shalat saja dapat merupakan mitos, jika kita tidak mengerti tujuan shalat itu sendiri. Ternyata shalat 5 waktu merupakan memenuhi kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mitos meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Namun tidak setiap mitos bersifat jelek. Karena anak kecil belajar dari mitos. Oleh karena itu, jika kita ingin memahami intuisi, berinteraksilah dan bersilaturahimlah dengan orang lain. Intuisi itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar